Kevin Media (Kevin Ikhwan Muhammad)





Man Jadda Wajada !
Man Jadda Wajada !
Man Jadda Wajada !

Gemetar bibirku mengucapkan kalimat pemecah kesunyian di sepertiga malam ini. Sehabis bangkit dari sujud tahajudku rasanya hati begitu penuh sesak dengan harapan ini, mau terucap lewat bibir pun tak bisa, hingga air mata mengungkapkan segala keinginan ini kepada Dia yang maha mengerti segala bahasa.

Ini sudah kesebelas kalinya aku mencoba berikhtiyar untuk bisa mendapatkan yang aku anggap terbaik. Tapi sampai saat ini Dia belum menunjukkan rahasia itu. Aku masih bertahan di tengah gurun minyak ini. tempat dimana kekayaan negaraku tersimpan.

Aku memilih tempat ini tentu punya tujuan dan harapan, tapi kepastian akan itu semua belum sepenuhnya mengisi bagian dari hati dan logikaku.

Materi, dan waktu bukan pengorbanan yang mudah buatku, tapi untuk masa depan, aku akan lakukan untuk ayah dan ibuku. dukungan dan doa dari mereka tak pernah putus mengantarkan langkah-langkahku untuk mengejar mimpi.

Intinya sampai saat ini aku masih menunggu apa yang Dia sembunyikan dariku, sembari menunggu aku akan terus berusaha dan berdoa agar kelak tujuan dan harapanku memang hasil yang terbaik.

Man Jadda Wajada !
Kevin Media (Kevin Ikhwan Muhammad)

Persinggahan Pertama
Tak ada kata merata
Lalu disetiap kalimat kuselipkan dua buah kata,
Saling beradu kemudian menjadi sendu
Ini hanya persinggahan
Dikala semua terdengar merdu
Padahal sebentar lagi meredup
Mereka
Tak ingin meredup
Kemudian sendu
Maka kutinggalkan seluruhnya
kecuali satu.
Gesekan dedaunan berpadu dengan gemericik air, menemani aziz dan adiknya yang duduk termenung. Sudah 3 bulan Aziz dan adiknya berhenti dari sekolahnya sejak sang ayah menghadap Illahi
“Kak, apa harus kita mengemis di jalanan ibukota?”
“Tidak, kita tidak akan meminta-minta. Ayah sudah mengajarkan kita, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah!”
“Tapi kak--”
“Kakak yang akan bekerja dan membiayai sekolahmu”
“Bagaimana--”
“Tak usah bertanya, Kakak pasti takkan bisa menjawabnya”
Usai perkataan sang Kakak, sang adik terdiam. Mengamati matahari senja sembari memikirkan masa depan mereka.
Esoknya
“Ahmad! Kakak punya kambar gembira untukmu!”
“Apa kak?”
“Besok kamu akan bersekolah kembali!”
“Hah?”
“Kakak yang akan membiayaimu”
“Benar kak?”
“Ya!”
 “Makasih kak!” memeluk erat Kakaknya.
Di Sekolah
“Ahmad?!”
“Hai Siddiq, lama tak jumpa, apa kabar kau?”
“Bagaimana bisa kau kembali ke sekolah?”
“Kakakku yang membiayaiku”
“Jadi kakakmu tidak melanjutkan sekolahnya?”
“Begitulah, dia yang membiayai sekolahku sekarang”
“Oooh sabar bung” sambil menepuk pundak Ahmad. “Tapi, si cantik Ayu pasti terkejut melihatmu lagi”
“Ah, bisa saja kau--”
Gubrak!!
Aduh!
“kalau liat jalan hati-hati dong!”
“maaf-maaf, saya tidak sengaja”
“loh, Ahmad?!”
“Fikri!“
“Oh My God! You’re comeback man!” menyodorkan tangannya.
“Hahaha bisa saja kau!” menggengam tangan Fikri.
“What’s up Bro? Are You Okay?”
“Of Course!”
“Sudah...sudah aku nggak ngerti kalian ngomong apa. Lagi 5 menit sudah bel masuk, ayo ke kelas”
Tring...Tring
Mereka bertiga memasuki pintu kelas, seisi ruangan yang gaduh terdiam. Sosok laki-laki bertubuh kurus dengan rambut pomednya yang rapi menjadi pusat perhatian seisi kelas.
“Ahmad?” Ayu menggunakan kacamatanya untuk memastikan. “Ahmad!”
“Hai Ayu, lama tak jumpa, masih saja kau tetap tampil menawan dengan kacamata mungilmu itu”
“Ah.. bisa saja kamu..” sembari menutup mukanya dengan buku.
“Ciee... ahahaha” Fikri dan Siddiq menggoda mereka.
Keempat sahabat itu tertawa dengan riangnya. Disusul tawa seisi kelas.
Juni 2015
Hari berganti hari, hubungan keempat sahabat itu semakin erat. Semakin tak terpisahkan. Kini hari pengumuman kelulusan telah tiba, hari dimana tangis dan tawa bisa saja terjadi hanya dalam hitung detik.
Keempat sahabat itu duduk berbaris, tak berbicara, sepatah kata pun, hanya satu kata harapan dan doa yang selalu mereka ucapkan dalam hati mereka. LULUS.
“Anak-anak tiba waktunya untuk pengumuman kelulusan, amplop yang berisikan lembaran pernyataan kelulusan akan segera dibagikan, silahkan untuk dibuka bersama. Dengan segala permohonan, maaf bila ada teman dari kalian yang harus tinggal”
Ribuan asa melekat di otak dan hati mereka, tak tahu apa yang akan terjadi dalam 60 detik ke depan. Apakah tangis atau tawa yang akan mereka dapati.
“Teman-teman, masa depan kita berawal dari sini, dari lembaran kecil yang diselimuti amplop hijau ini”. Fikri membuka pembicaraan.
“Mungkin, lembaran ini yang akan memisahkan kita, tapi justru yang akan menguatkan persabatan kita” Ayu menyusul.
“Tapi, kita harus yakin bahwa persahabatan kita, akan tetap abadi” Siddiq menambahkan.
“Sudah saatnya untuk kita membuka lembaran kecil ini kawan”
Dengan kebimbangan dan harapan, mereka membuka lembaran kecil tersebut.
Lulus!
Mereka berpelukan, namun satu diantara mereka terdiam, tak berekspresi,
“Siddiq? Ada apa denganmu?” tanya Fikri cemas.
“Jangan membuat kami khawatir” Ayu khawatir.
“Teman-teman aku tak tahu harus berkata apa pada orang tuaku nanti.”
“Jangan bilang kau tidak lulus?”
“Jangan bodoh! Tentu saja aku lulus! hahaha“
“Dasar! Kau ini selalu mengagetkan saja”
Mereka tersenyum kembali.
Ahmad Si Beruntung
“Kak, aku telah lulus sekarang, apa aku boleh melanjutkan kuliah?”
“Kuliah? Jangan dulu, kakak sudah nggak mampu kalau buat biaya kuliah”
“Begitu ya kak”
“Ambisi boleh, tapi kita harus lihat waktu dan keadaannya. Sudahlah, ayo bantu kakak bajak di sawah”
“Baik kak”
Ahmad termenung, jika dia masih tetap begini terus perekonomiannya tidak akan membaik hanya berjalan di tempat.
  
Waktu Dini Hari
Ahmad terbangun dari tidurnya, mimpi malam ini tak seindah malam-malam sebelumnya. Sejenak ia termenung menatap wajah kakaknya yang dulu ia idolakan kini lusuh, kusam, dan menghitam.
Suasana hujan dan udara malam ini membuatnya ingin bersimpuh ke hadapan Sang Khalik.
“Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Hamba memohon pertolongan kepada-Mu, kini keterbatasan ekonomi menghadang langkah kecil hambamu ini, berilah kemudahan di setiap langkah ini. Aamiin”
“Cit…Cit…Cit”
Sang Fajar bersinar terang pagi ini, menyilaukan pandangan Ahmad yang terlelap, membuatnya terbangun.
“Ahmaad! Ayoo bangun! Kau sudah lewatkan waktu yang berharga!” Teriak Sang Kakak.
“Iya kak!” Saut Si Adik
“Cepat! Tuk Syarif mencarimu!”
“Tuk Syarif? Tumben… Ya.. ya, tunggu sebentar”
“Ada apa Tuk? Kok tumben?”
“Kata abangmu kau ingin kuliah?”
“Ah, sudah aku lupakan impian itu Tuk”
“Jangan begitu nak, biar Atuk Syarif yang biayai. Pendidikan itu pintu kesuksesan”
Haaa? Dengan wajah polos sambil membuka mulutnya, tanda tak percaya
“Awasi wajamu nak! Jelek! Hahaha”
“Ah, bisa ulangi sekali lagi Tuk?”
“Biar Atuk yang biayai. Kamu bersekolah saja, harumkan nama desa kita.”
“Makasih Atuk!” Ahmad memeluk Tuk Syarif dengan erat.
“Bersiaplah, besok kita berangkat ke kota”
Siddiq dan Impiannya
Setelah memutuskan untuk bersekolah sepak bola selama lima bulan di salah satu kota ternama, Siddiq menemukan jalan takdirnya, impiannya selama ini untuk menjadi pemain sepak bola professional akan tercapai, karena ia baru saja lolos seleksi dan mendapat beasiswa untuk masuk club Manchester United di Inggris.
Siddiq membawa surat undangan itu kepada ayahnya
“Ayah, setelah mendengar berita ini, ayah pasti akan bangga”
“Iya ada apa nak?” sambil meminum kopi di depan TV
“Siddiq lolos dalam seleksi sepak bola di Inggris yah, Manchester United!”
“Benar nak? Alhamdulillah ayah senang kamu bisa mendapatkan mimpimu, ayah dari dulu sudah yakin, kamu anak yang berbakat”
“Terima Kasih yah, sudah percaya pada Siddiq selama ini, Siddiq akan buat ayah bangga lagi nanti disana, Siddiq akan menjadi pemain bola yang hebat dan terkenal”
“Iya nak, jika ibumu masih ada dia pasti juga akan bangga”
Dua hari kemudian Siddiq pun membeli tiket pesawat dan menjemput impiannya ke negeri Britania Raya
Sang Seniman Ulung
Tekad yang kuat dan darah seni yang mengalir dalam dirinya membuat Fikri menjalani hidupnya dengan menjadi seorang seniman, ribuan puisi dan sebuah galeri telah ia ciptakan sendiri, tidak hanya terkenal di kalangan seniman dunia, ia pun kini sudah bisa menghasilkan uangnya sendiri.
Di hari yang sama dengan jadwal keberangkatan Siddiq, Fikri juga akan berangkat ke Jerman untuk menghadiri pertemuan seniman dunia di Frankfurt.
“Bisa saya lihat VISA bapak?” Petugas bandara memeriksa kelengkapan surat Fikri.
“Silahkan...”
“Terima kasih pak, surat-surat bapak telah lengkap semoga bapak selamat sampai tujuan”
 
“Terima kasih”
Fikri berjalan mencari tempat duduk di ruang tunggu, tanpa sengaja Fikri melihat Siddiq yang sedang duduk sendiri.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam. Fikri? Alhamdulillah, bagaimana kabarmu kawan?”
“Alhamdulillah, nih bisa lihat sekarang sehat-sehat aja”
“Kamu gimana diq? Mau kemana?”
“Sehat juga, Old Trafford bro.”
“Old Trafford? Manchester? Ngapain kamu? Jadi supporter?”
“Enak saja kau bicara! Kau lupa dengan impianku?”
“Tunggu, kalau tak salah ... atlet sepakbola?”
“Begitulah, Aku dapat undangan dari akademi MU di Jakarta untuk berangkat ke Manchester”
“Wow, luar biasa. Selamat sobat”
“Sebentar lagi mimpiku akan tercapai, Barcelona tujuan berikutnya”
“Alhamdulillah, ternyata gak sia-sia perjuanganmu selama ini”
“Alhamdulillah, kamu sendiri mau kemana Fik?”
“Aku ada pertemuan nih di Jerman, pertemuan seniman dunia. Ooh iya diq, sepertinya pesawatku berangkat lebih awal dari kamu, aku duluan ya”
“Oke kawan hati-hati, jangan lupa kasih kabar”
“Siap..!”
Kisah Ayu
Hidup terus berlalu, Ayu kini menjadi sosok perempuan yang sangat cantik dan lebih dewasa, sekarang ia menjadi seorang sekertaris di sebuah perusahaan terkenal yang dimiliki oleh seorang direktur bernama Chairil.
“Baik, rapat hari ini kita akhiri sampai disini. Besok kita lanjutkan kembali”
....
“Ayu, kamu ada acara malam ini?” Tanya pak direktur.
“Nggak, apa ada rapat lagi pak?”
“Oh tidak, aku hanya ingin mengajakmu makan malam.”
“Ma..makan malam? Nggak salah pak?”
“Jawab saja... Mau ya?”
“Iya deh” sambil menganggukan kepala dan tersipu malu.
Tawaran Sang Malam
Di sebuah restoran termahal di Jakarta, Chairil makan malam bersama Ayu dengan suasana yang sangat indah. Malam itu Chairil telah merencanakan sebuah srategi untuk melamar Ayu.
“Ayu, kamu terlihat cantik malam ini”
“Ahh, tidak pak saya biasa saja” Ayu menyembunyikan rasa malunya
“Benar, kamu sangat cantik malam ini, sejak awal saya tak bisa melepaskan pandangan dari kamu”
Wajah Ayu memerah dan merasa linglung dibuatnya, dia bingung untuk berkata apalagi untuk menjawab rayuan dari Chairil. Strategi pun dimulai.
“Ngomong-ngomong ada apa bapak mengajak saya makan malam, jarang-jarang sekali bapak seperti ini kepada saya”
Jentikan tangan Chairil memberi kode kepada pelayan,untuk melaksanakan tugasnya, dan pelayan pun datang membawa sebuah nampan besi yang tertutup rapat.
“Jadi ini yang saya maksud, silahkan kamu buka sendiri”
“Ini apa pak?”
Chairil mengambil barang itu dari atas nampan yang masih dipegang oleh pelayan, dan segera mendekatkannya di hadapan Ayu.
 “Setelah sekian lama kita bersama di kantor, saya merasakan ada hal yang berbeda setiap dekat dengan kamu, sampai detik ini perasaan itu semakin besar dan membuat saya berpikir inilah waktu yang tepat untuk saya ungkapkan kepadamu, saya mencintai kamu dan saya ingin melamar kamu untuk menjadi istri saya”
Ayu semakin tak karuan dibuatnya, wajahnya merah padam menyaksikan seseorang yang juga dikaguminya melamarnya pada malam yang indah itu.
“Sebenarnya selama ini saya juga memiliki perasaan yang sama dengan bapak’
“Jadi bagaimana? Will you marry me?”
Senyum manis Ayu seakan menjawab lamaran Chairil. Makan malam pun selesai, Ayu resmi menerima Chairil menjadi calon pasangan sehidup sematinya.
Kenangan Masa Lalu
Kisah masa lalunya bersama Ahmad harus ia lupakan karena satu bulan lagi Ayu harus melangsungkan pernikahan bersama calon pasangan hidupnya.
“Sayang, sepertinya kita harus pesan kathering dari sekarang ya, pernikahan kita kan sebentar lagi” Chairil memulai pembicaraan.
“Iya sayang, selepas pulang kantor kita cari tempat kathering yang bagus buat kita”
“Oh iya, bagaimana dengan undangannya?”
“Sudah, tapi ada seseorang yang harus aku temui dulu. Bolehkan?”
“Tentu saja”
Pertemuan
Perjuangan keras Ahmad kini menjadi kenangan yang manis dalam hidupnya, dia telah lulus Cumlaude dengan nilai IP tertinggi.
“Selamat ya Ahmad kamu telah berhasil lulus dengan sangat baik, semoga setelah ini kamu mendapatkan hal yang kamu inginkan”
“Terima kasih miss sudah mendukung saya selama ini, saya akan kembali ke desa dan akan menghubungi seseorang yang saya dulu impikan
“So Sweet, siapa?”
“Dia manis, mungil, lugu dengan kacamatanya”
“Oh,… teman kecil?”
“Begitulah, sudah ya Miss. Saya Berangkat dulu.”
Sukses ya, saya tunggu undangannya di Rotherdam Rose tersenyum kecil.
“Siap miss, Tak lama lagi saya akan kabarkan. Kapan Miss akan berangkat?
“Dua minggu lagi, ada yang aku tunggu. OH! Ini tisu untukmu, gunakanlah saat dibutuhkan.”
“Terima kasih, Miss” memasukkannya kedalam saku jasnya.
Kampung Halaman
“Kakak! Aku pulang!” Teriak Ahmad dari jauh ditemani Tuk Syarif yang membawa barang.
“Ahmad? Adikku!”
“Kak! Senang bertemu kakak kembali. Apa kabar kak?”
“Ya, begini-begini saja. Waah, sekarang kamu sudah memakai jas almamater, memang adik kebangganku.”
“Bisa saja, Oh iya kak! Ada seseorang yang inigin kutemui… Ayu”
“…” Aziz terdiam sejenak.
“Kak? Ada apa?”
“Sebaiknya kau lupakan dia”
“Loh? Kenapa kak?”
Aziz membalik badan “Dia… seminggu yang lalu datang kemari, memberikan undangan… undangan pernikahan”
“Nikah? Ayu menikah?”
“Begitulah, sudahlah... lupakan saja. Tunggu sebentar, biar kakak buatkan teh manis dulu”
Surat Yang Cemburu
Kutulis surat ini dengan terburu-buru
Ditambah dengan rasa cemas
Kutulis surat ini dengan cemburu
Hingga surat ini selesai dalam ketidakselesaian
Aku selalu terburu-buru
Dan cemburu
Cemas jikalau aku
Terlampau cemas dan mengemas
Seluruhnya untukmu
Itulah cemburu yang terburu-buru
Di dalam surat
Aku belajar setia
Melawan cemburu
Dan menunggu surat itu terbalas
Dan lekas sembuhkan kata-kataku
Konon, cinta tuhan dimulai dari cemburu
Yang terburu-buru
Seperti cemburu iblis pada adam
Hingga surga tak lagi ada pada cemburu
Hingga aku tak lagi ada pada suratmu
Bahagia Selalu, Ayu .
Ahmad menulis surat itu, mencoba mengikhlaskan kepergian pujaannya dulu itu.
“Apa yang kau lakukan dik?”
“Menulis surat kak, untuk Ayu”
“Sudahlah, toh dia sudah bahagia kan.”
“Memang sulit, melepas rasa”
“Tentu saja, rasa tak berakar, tapi mengambang. Apa tak ada gadis lain lagi”
“Selama ini aku menutup mata terhadap wanita lain, aku rasa tak ada”
“Hm… Cobalah mencari yang lain, gadismu yang sebenarnya”
“Tapi, masih belum ada.”
“Lalu, tisu di jasmu itu milik siapa? Cobalah kau lihat”
“Tisu? Tisu dari Rose. Ada apa dengan tisunya?”
“Cobalah kau lihat dulu” Aziz tersenyum
Ahmad membuka tisu tersebut, dia melihat tulisan di dalamnya, bukan tulisan biasa. Puisi.

 Serupa
    Angin musim punya banyak cara berkunjung di sini
    Serupa kau, punya banyak hal tentang kata
    Angin Berhembus,
    Serupa aku, mengantarkan kenangan
    Selalu menyejukkan di tengah ketegangan
  
    Jadilah kenangan, serupa hembusan angin
    Di belantara hati yang kalut akan angan
    Di pertengahan jalan menuju kotamu   
"Dari Rose Untuk Ahmad"
“Nah, sekarang kau tau kan, siapa yang pantas untukmu”
“Rose…”
“Sudah dua minggu kau disini, Kejarlah dia, bahagiakan. keburu di ambil orang lagi”
“Dua minggu!? Aku Lupa! Hari ini dia akan berangkat, aku harus cepat!”
“Kejarlah! Itu harapanmu! Masa depanmu!”
Soekarno-Hatta Airport
“Roseeeee!” Teriak Ahmad dari jauh.
“Ahmad?” Tak percaya Rose. “Apa yang kau lakukan disini?”
“Jangan bodoh, kenapa kamu tak bilang dari dulu!”
“Bilang apa?” Kebingungan menyelimuti Rose
“Isi surat itu. Puisi itu”
“Kamu membacanya?”
“Tentu saja! Kenapa aku begitu bodoh, sehingga tak memperhatikanmu selama ini. Maafkan aku Rose”
“Apa boleh buat, setiap kali aku berbicara denganmu, kau selalu menyebut namanya, aku rasa aku kehilangan harapan, karena itu aku hanya menuliskannya. Aku juga meminta maaf. Sorry”
“Betapa egoisnya diriku. Tapi kini aku telah belajar banyak hal. Terima kasih.”
“Lalu apa sekarang?”
“Begini, pertama-tama, kita akan  jalan bersama, menyatukan pikiran, memperkenalkan diri... dan--”
“Hehehe” Rose tertawa kecil
“Kenapa? Kok tertawa?”
“Nggak ada. Lucu aja”
Mereka bercakap-cakap dengan riangnya. Dari kejauhan muncullah seseorang yang tidak asing bagi Ahmad.
“Lalu bagaimana dengan….. Fikri!?”
“Fikri?” Rose bingung
“Bukan, maksudku aku melihat Fikri, temanku. Fikri!”
“Ahmad? Ahmad bin Mahmud?”
“Ya, aku Ahmad! Ahmad bin Mahmud bin Mahmed”
“Hahaha! Lama tak jumpa!” Mereka bersalaman. “Siapa ini? Cewekmu?”
“Yah, begitulah. Perkenalkan dirimu Rose”
“Rose” Rose Tersenyum
“Fikri” Fikri Tersenyum
“Oh,  iya bagaimana kabar Siddiq?” Tanya Ahmad
“Katanya dia juga datang hari ini, kami lain pesawat. Apa kita tunggu saja.”
“Boleh”
Beberapa menit kemudian…
“Itu dia! Siddiq! Disini!” Fikri berteriak.
“Fikri!” Ahmad berlari menuju Fikri “Loh, ada Ahmad dan seorang lagi, cewekmu Fik?”
“Hahaha bukan, Ahmad punya nih”
“Widih… asyik. Ada yang baru nih.”
“Bisa saja kalian. Ayo kerumahku dulu. Mampir”
“Nggak usah deh Mad, aku mau persiapan presentasi nanti malam” Jawab Fikri
“Wah.. sorry nih Mad, ayah udah nelpon dari tadi, Kangen” Siddiq mengikuti.
“Yah, sayang dong.”
“Gimana kalau kita ketemu di pesta pernikahan Ayu aja.” Usul Siddiq
“Setuju!” Fikri dan Ahmad mengiyakan.
Detik-Detik Pesta Pernikahan
“Sudah jam 8  nih, 30 menit lagi acara dimulai. Ahmad sama Rose belum juga datang” Gusar Fikri
“Telepon aja Fik.
“Mad, dimana nih? Kita udah nunggu 10 menit lebih, Orang tua ayu juga udah dateng jadi acara mau dimulai bentar lagi. ”
“Sorry fik, lagi ada gangguan nih, kamu tau sendiri kan jakarta kayak gimana, 5 menit lagi insyaallah aku sampai”
“Oke-oke buruan ya, jangan lupa sama gandenganmu!”
“Sudah fik, tunggu aja”
Tepat 1 menit sebelum acara pesta pernikaan dumulai Ahmad bersama Rose pun datang, Di tengah ruangan Ayu dan Chairil telah menunggu, Sekilas pandangan dengan arti kenangan itu terusik kembali pada saat mata Ahmad dan Ayu berada pada satu garis lurus. Tapi tak ada kata lagi yang bisa terucap, kenangan itu telah dikubur dalam hati masing-masing. Hanya tersisa kata.
“Selamat kacamata mungil, semoga kau selalu bahagia”
“Selamat juga Ahmad, kau tetap sahabatku”
Tamat.