Persinggahan
Pertama
Tak ada kata merata
Lalu disetiap kalimat kuselipkan dua
buah kata,
Saling beradu kemudian menjadi sendu
Ini hanya persinggahan
Dikala semua terdengar merdu
Padahal sebentar lagi meredup
Mereka
Tak ingin meredup
Kemudian sendu
Maka kutinggalkan seluruhnya
kecuali satu.
Gesekan
dedaunan berpadu dengan gemericik air, menemani aziz dan adiknya yang duduk
termenung. Sudah 3 bulan Aziz dan adiknya berhenti dari sekolahnya sejak sang ayah menghadap Illahi
“Kak,
apa harus kita mengemis di jalanan ibukota?”
“Tidak,
kita tidak akan meminta-minta. Ayah sudah mengajarkan kita, tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah!”
“Tapi
kak--”
“Kakak
yang akan bekerja dan membiayai sekolahmu”
“Bagaimana--”
“Tak
usah bertanya, Kakak pasti takkan bisa menjawabnya”
Usai
perkataan sang Kakak, sang adik terdiam. Mengamati matahari senja sembari
memikirkan masa depan mereka.
Esoknya
“Ahmad!
Kakak punya kambar gembira untukmu!”
“Apa
kak?”
“Besok
kamu akan bersekolah kembali!”
“Hah?”
“Kakak
yang akan membiayaimu”
“Benar
kak?”
“Ya!”
“Makasih kak!” memeluk erat Kakaknya.
Di Sekolah
“Ahmad?!”
“Hai
Siddiq, lama tak jumpa, apa kabar kau?”
“Bagaimana
bisa kau kembali ke sekolah?”
“Kakakku
yang membiayaiku”
“Jadi
kakakmu tidak melanjutkan sekolahnya?”
“Begitulah,
dia yang membiayai sekolahku sekarang”
“Oooh
sabar bung” sambil menepuk pundak Ahmad. “Tapi, si cantik Ayu pasti terkejut
melihatmu lagi”
“Ah,
bisa saja kau--”
Gubrak!!
Aduh!
“kalau
liat jalan hati-hati dong!”
“maaf-maaf,
saya tidak sengaja”
“loh,
Ahmad?!”
“Fikri!“
“Oh
My God! You’re comeback man!” menyodorkan tangannya.
“Hahaha
bisa saja kau!” menggengam tangan Fikri.
“What’s
up Bro? Are You Okay?”
“Of
Course!”
“Sudah...sudah
aku nggak ngerti kalian ngomong apa. Lagi 5 menit sudah bel masuk, ayo ke
kelas”
Tring...Tring
Mereka
bertiga memasuki pintu kelas, seisi ruangan yang gaduh terdiam. Sosok laki-laki
bertubuh kurus dengan rambut pomednya yang rapi menjadi pusat perhatian seisi
kelas.
“Ahmad?”
Ayu menggunakan kacamatanya untuk memastikan. “Ahmad!”
“Hai
Ayu, lama tak jumpa, masih saja kau tetap tampil menawan dengan kacamata
mungilmu itu”
“Ah..
bisa saja kamu..” sembari menutup mukanya dengan buku.
“Ciee...
ahahaha” Fikri dan Siddiq menggoda mereka.
Keempat
sahabat itu tertawa dengan riangnya. Disusul tawa seisi kelas.
Juni 2015
Hari
berganti hari, hubungan keempat sahabat itu semakin erat. Semakin tak
terpisahkan. Kini hari pengumuman kelulusan telah tiba, hari dimana tangis dan
tawa bisa saja terjadi hanya dalam hitung detik.
Keempat
sahabat itu duduk berbaris, tak berbicara, sepatah kata pun, hanya satu kata harapan
dan doa yang selalu mereka ucapkan dalam hati mereka. LULUS.
“Anak-anak
tiba waktunya untuk pengumuman kelulusan, amplop yang berisikan lembaran
pernyataan kelulusan akan segera dibagikan, silahkan untuk dibuka bersama.
Dengan segala permohonan, maaf bila ada teman dari kalian yang harus tinggal”
Ribuan
asa melekat di otak dan hati mereka, tak tahu apa yang akan terjadi dalam 60
detik ke depan. Apakah tangis atau tawa yang akan mereka dapati.
“Teman-teman,
masa depan kita berawal dari sini, dari lembaran kecil yang diselimuti amplop
hijau ini”. Fikri membuka pembicaraan.
“Mungkin,
lembaran ini yang akan memisahkan kita, tapi justru yang akan menguatkan
persabatan kita” Ayu menyusul.
“Tapi,
kita harus yakin bahwa persahabatan kita, akan tetap abadi” Siddiq menambahkan.
“Sudah
saatnya untuk kita membuka lembaran kecil ini kawan”
Dengan
kebimbangan dan harapan, mereka membuka lembaran kecil tersebut.
Lulus!
Mereka
berpelukan, namun satu diantara mereka terdiam, tak berekspresi,
“Siddiq?
Ada apa denganmu?” tanya Fikri cemas.
“Jangan
membuat kami khawatir” Ayu khawatir.
“Teman-teman
aku tak tahu harus berkata apa pada orang tuaku nanti.”
“Jangan
bilang kau tidak lulus?”
“Jangan
bodoh! Tentu saja aku lulus! hahaha“
“Dasar!
Kau ini selalu mengagetkan saja”
Mereka
tersenyum kembali.
Ahmad
Si Beruntung
“Kak,
aku telah lulus sekarang, apa aku boleh melanjutkan kuliah?”
“Kuliah?
Jangan dulu, kakak sudah nggak mampu kalau buat biaya kuliah”
“Begitu
ya kak”
“Ambisi
boleh, tapi kita harus lihat waktu dan keadaannya. Sudahlah, ayo bantu kakak
bajak di sawah”
“Baik
kak”
Ahmad
termenung, jika dia masih tetap begini terus perekonomiannya tidak akan membaik
hanya berjalan di tempat.
Waktu Dini Hari
Ahmad
terbangun dari tidurnya, mimpi malam ini tak seindah malam-malam sebelumnya.
Sejenak ia termenung menatap wajah kakaknya yang dulu ia idolakan kini lusuh,
kusam, dan menghitam.
Suasana
hujan dan udara malam ini membuatnya ingin bersimpuh ke hadapan Sang Khalik.
“Ya
Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Hamba memohon pertolongan
kepada-Mu, kini keterbatasan ekonomi menghadang langkah kecil hambamu ini, berilah
kemudahan di setiap langkah ini. Aamiin”
“Cit…Cit…Cit”
Sang Fajar bersinar terang
pagi ini, menyilaukan pandangan Ahmad yang terlelap, membuatnya terbangun.
“Ahmaad! Ayoo bangun! Kau
sudah lewatkan waktu yang berharga!” Teriak Sang Kakak.
“Iya kak!” Saut Si Adik
“Cepat! Tuk Syarif
mencarimu!”
“Tuk Syarif? Tumben… Ya..
ya, tunggu sebentar”
“Ada apa Tuk? Kok tumben?”
“Kata abangmu kau ingin
kuliah?”
“Ah, sudah aku lupakan
impian itu Tuk”
“Jangan begitu nak, biar
Atuk Syarif yang biayai. Pendidikan itu pintu kesuksesan”
Haaa? Dengan wajah
polos sambil membuka mulutnya, tanda tak percaya
“Awasi wajamu nak! Jelek!
Hahaha”
“Ah, bisa ulangi sekali lagi
Tuk?”
“Biar Atuk yang biayai. Kamu
bersekolah saja, harumkan nama desa kita.”
“Makasih Atuk!” Ahmad
memeluk Tuk Syarif dengan erat.
“Bersiaplah, besok kita
berangkat ke kota”
Siddiq dan Impiannya
Setelah
memutuskan untuk bersekolah sepak bola selama lima bulan di salah satu kota
ternama, Siddiq menemukan jalan
takdirnya, impiannya selama ini untuk menjadi pemain sepak bola professional
akan tercapai, karena ia baru saja lolos seleksi dan mendapat beasiswa untuk
masuk club Manchester United di Inggris.
Siddiq
membawa surat undangan itu kepada ayahnya
“Ayah,
setelah mendengar berita ini, ayah pasti akan bangga”
“Iya
ada apa nak?” sambil meminum kopi di depan TV
“Siddiq
lolos dalam seleksi sepak bola di Inggris yah, Manchester United!”
“Benar
nak? Alhamdulillah ayah senang kamu bisa mendapatkan mimpimu, ayah dari dulu
sudah yakin, kamu anak yang berbakat”
“Terima
Kasih yah, sudah percaya pada Siddiq
selama ini, Siddiq akan buat ayah
bangga lagi nanti disana, Siddiq
akan menjadi pemain bola yang hebat dan terkenal”
“Iya
nak, jika ibumu masih ada dia pasti juga akan bangga”
Dua
hari kemudian Siddiq pun membeli tiket
pesawat dan menjemput impiannya ke negeri Britania Raya
Sang Seniman Ulung
Tekad
yang kuat dan darah seni yang mengalir dalam dirinya membuat Fikri menjalani
hidupnya dengan menjadi seorang seniman, ribuan puisi dan sebuah galeri telah
ia ciptakan sendiri, tidak hanya terkenal di kalangan seniman dunia, ia pun
kini sudah bisa menghasilkan uangnya sendiri.
Di
hari yang sama dengan jadwal keberangkatan Siddiq, Fikri juga akan berangkat ke
Jerman untuk menghadiri pertemuan seniman dunia di Frankfurt.
“Bisa
saya lihat VISA bapak?” Petugas bandara memeriksa kelengkapan surat Fikri.
“Silahkan...”
“Terima
kasih pak, surat-surat bapak telah lengkap semoga bapak selamat sampai tujuan”
“Terima
kasih”
Fikri
berjalan mencari tempat duduk di ruang tunggu, tanpa sengaja Fikri melihat Siddiq
yang sedang duduk sendiri.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.
Fikri? Alhamdulillah, bagaimana kabarmu kawan?”
“Alhamdulillah,
nih bisa lihat sekarang sehat-sehat aja”
“Kamu
gimana diq? Mau kemana?”
“Sehat
juga, Old Trafford bro.”
“Old
Trafford? Manchester? Ngapain kamu? Jadi supporter?”
“Enak
saja kau bicara! Kau lupa dengan impianku?”
“Tunggu,
kalau tak salah ... atlet sepakbola?”
“Begitulah,
Aku dapat undangan dari akademi MU di Jakarta untuk berangkat ke Manchester”
“Wow,
luar biasa. Selamat sobat”
“Sebentar
lagi mimpiku akan tercapai, Barcelona tujuan berikutnya”
“Alhamdulillah,
ternyata gak sia-sia perjuanganmu selama ini”
“Alhamdulillah,
kamu sendiri mau kemana Fik?”
“Aku
ada pertemuan nih di Jerman, pertemuan seniman dunia. Ooh iya diq, sepertinya
pesawatku berangkat lebih awal dari kamu, aku duluan ya”
“Oke
kawan hati-hati, jangan lupa kasih kabar”
“Siap..!”
Kisah Ayu
Hidup
terus berlalu, Ayu kini menjadi sosok perempuan yang sangat cantik dan lebih
dewasa, sekarang ia menjadi seorang sekertaris di sebuah perusahaan terkenal
yang dimiliki oleh seorang direktur bernama Chairil.
“Baik,
rapat hari ini kita akhiri sampai disini. Besok kita lanjutkan kembali”
....
“Ayu,
kamu ada acara malam ini?” Tanya pak direktur.
“Nggak,
apa ada rapat lagi pak?”
“Oh
tidak, aku hanya ingin mengajakmu makan malam.”
“Ma..makan
malam? Nggak salah pak?”
“Jawab
saja... Mau ya?”
“Iya
deh” sambil menganggukan kepala dan tersipu malu.
Tawaran Sang Malam
Di
sebuah restoran termahal di Jakarta, Chairil makan malam bersama Ayu dengan
suasana yang sangat indah. Malam itu Chairil telah merencanakan sebuah srategi
untuk melamar Ayu.
“Ayu,
kamu terlihat cantik malam ini”
“Ahh,
tidak pak saya biasa saja” Ayu menyembunyikan rasa malunya
“Benar,
kamu sangat cantik malam ini, sejak awal saya tak bisa melepaskan pandangan
dari kamu”
Wajah
Ayu memerah dan merasa linglung dibuatnya, dia bingung untuk berkata apalagi
untuk menjawab rayuan dari Chairil. Strategi pun dimulai.
“Ngomong-ngomong
ada apa bapak mengajak saya makan malam, jarang-jarang sekali bapak seperti ini
kepada saya”
Jentikan
tangan Chairil memberi kode kepada pelayan,untuk melaksanakan tugasnya, dan
pelayan pun datang membawa sebuah nampan besi yang tertutup rapat.
“Jadi
ini yang saya maksud, silahkan kamu buka sendiri”
“Ini
apa pak?”
Chairil
mengambil barang itu dari atas nampan yang masih dipegang oleh pelayan, dan
segera mendekatkannya di hadapan Ayu.
“Setelah
sekian lama kita bersama di kantor, saya merasakan ada hal yang berbeda setiap
dekat dengan kamu, sampai detik ini perasaan itu semakin besar dan membuat saya
berpikir inilah waktu yang tepat untuk saya ungkapkan kepadamu, saya mencintai
kamu dan saya ingin melamar kamu untuk menjadi istri saya”
Ayu
semakin tak karuan dibuatnya, wajahnya merah padam menyaksikan seseorang yang
juga dikaguminya melamarnya pada malam yang indah itu.
“Sebenarnya
selama ini saya juga memiliki perasaan yang sama dengan bapak’
“Jadi
bagaimana? Will you marry me?”
Senyum
manis Ayu seakan menjawab lamaran Chairil. Makan malam pun selesai, Ayu resmi
menerima Chairil menjadi calon pasangan sehidup sematinya.
Kenangan Masa Lalu
Kisah
masa lalunya bersama Ahmad harus ia lupakan karena satu bulan lagi Ayu harus melangsungkan pernikahan
bersama calon pasangan hidupnya.
“Sayang, sepertinya
kita harus pesan kathering dari sekarang ya, pernikahan kita kan sebentar lagi” Chairil memulai
pembicaraan.
“Iya
sayang, selepas pulang kantor kita cari tempat kathering yang bagus buat kita”
“Oh iya, bagaimana dengan
undangannya?”
“Sudah, tapi ada seseorang
yang harus aku temui dulu. Bolehkan?”
“Tentu saja”
Pertemuan
Perjuangan
keras Ahmad kini menjadi kenangan yang manis dalam hidupnya, dia telah lulus
Cumlaude dengan nilai IP tertinggi.
“Selamat
ya Ahmad kamu telah berhasil lulus dengan sangat baik, semoga setelah ini kamu
mendapatkan hal yang kamu inginkan”
“Terima
kasih miss sudah mendukung saya selama ini, saya akan
kembali ke desa dan akan menghubungi seseorang yang saya dulu impikan”
“So Sweet, siapa?”
“Dia manis, mungil, lugu
dengan kacamatanya”
“Oh,… teman kecil?”
“Begitulah, sudah ya Miss.
Saya Berangkat dulu.”
“Sukses ya, saya tunggu undangannya di Rotherdam” Rose tersenyum kecil.
“Siap
miss, Tak lama lagi saya akan kabarkan. Kapan Miss akan berangkat?”
“Dua minggu lagi, ada yang
aku tunggu. OH! Ini tisu untukmu, gunakanlah saat dibutuhkan.”
“Terima kasih, Miss”
memasukkannya kedalam saku jasnya.
Kampung Halaman
“Kakak! Aku pulang!” Teriak
Ahmad dari jauh ditemani Tuk Syarif yang membawa barang.
“Ahmad? Adikku!”
“Kak! Senang bertemu kakak
kembali. Apa kabar kak?”
“Ya, begini-begini saja.
Waah, sekarang kamu sudah memakai jas almamater, memang adik kebangganku.”
“Bisa saja, Oh iya kak! Ada
seseorang yang inigin kutemui… Ayu”
“…” Aziz terdiam sejenak.
“Kak? Ada apa?”
“Sebaiknya kau lupakan dia”
“Loh? Kenapa kak?”
Aziz membalik badan “Dia…
seminggu yang lalu datang kemari, memberikan undangan… undangan pernikahan”
“Nikah? Ayu menikah?”
“Begitulah, sudahlah...
lupakan saja. Tunggu sebentar, biar kakak buatkan teh manis dulu”
|
Ahmad
menulis surat itu, mencoba mengikhlaskan kepergian pujaannya dulu itu.
“Apa yang kau lakukan dik?”
“Menulis surat kak, untuk
Ayu”
“Sudahlah, toh dia sudah
bahagia kan.”
“Memang sulit, melepas rasa”
“Tentu saja, rasa tak berakar,
tapi mengambang. Apa tak ada gadis lain lagi”
“Selama ini aku menutup mata
terhadap wanita lain, aku rasa tak ada”
“Hm… Cobalah mencari yang
lain, gadismu yang sebenarnya”
“Tapi, masih belum ada.”
“Lalu, tisu di jasmu itu
milik siapa? Cobalah kau lihat”
“Tisu? Tisu dari Rose. Ada
apa dengan tisunya?”
“Cobalah kau lihat dulu”
Aziz tersenyum
Ahmad membuka tisu tersebut,
dia melihat tulisan di dalamnya, bukan tulisan biasa. Puisi.
Serupa
Angin musim punya banyak cara berkunjung di sini
Serupa kau, punya banyak hal tentang kata
Angin Berhembus,
Serupa aku, mengantarkan kenangan
Selalu menyejukkan di tengah ketegangan
Jadilah kenangan, serupa hembusan angin
Di belantara hati yang kalut akan angan
Di pertengahan jalan menuju kotamu
"Dari Rose Untuk Ahmad"
“Nah, sekarang kau tau kan,
siapa yang pantas untukmu”
“Rose…”
“Sudah dua minggu kau
disini, Kejarlah dia, bahagiakan. keburu di ambil orang lagi”
“Dua minggu!? Aku Lupa! Hari
ini dia akan berangkat, aku harus cepat!”
“Kejarlah! Itu harapanmu!
Masa depanmu!”
Soekarno-Hatta Airport
“Roseeeee!” Teriak Ahmad
dari jauh.
“Ahmad?” Tak percaya Rose.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Jangan bodoh, kenapa kamu
tak bilang dari dulu!”
“Bilang apa?” Kebingungan
menyelimuti Rose
“Isi surat itu. Puisi itu”
“Kamu membacanya?”
“Tentu saja! Kenapa aku
begitu bodoh, sehingga tak memperhatikanmu selama ini. Maafkan aku Rose”
“Apa boleh buat, setiap kali
aku berbicara denganmu, kau selalu menyebut namanya, aku rasa aku kehilangan
harapan, karena itu aku hanya menuliskannya. Aku juga meminta maaf. Sorry”
“Betapa egoisnya diriku.
Tapi kini aku telah belajar banyak hal. Terima kasih.”
“Lalu apa sekarang?”
“Begini, pertama-tama, kita
akan jalan bersama, menyatukan pikiran,
memperkenalkan diri... dan--”
“Hehehe” Rose tertawa kecil
“Kenapa? Kok tertawa?”
“Nggak ada. Lucu aja”
Mereka bercakap-cakap dengan
riangnya. Dari kejauhan muncullah seseorang yang tidak asing bagi Ahmad.
“Lalu bagaimana dengan…..
Fikri!?”
“Fikri?” Rose bingung
“Bukan, maksudku aku melihat
Fikri, temanku. Fikri!”
“Ahmad? Ahmad bin Mahmud?”
“Ya, aku Ahmad! Ahmad bin
Mahmud bin Mahmed”
“Hahaha! Lama tak jumpa!”
Mereka bersalaman. “Siapa ini? Cewekmu?”
“Yah, begitulah. Perkenalkan
dirimu Rose”
“Rose” Rose Tersenyum
“Fikri” Fikri Tersenyum
“Oh, iya bagaimana kabar Siddiq?” Tanya Ahmad
“Katanya dia juga datang
hari ini, kami lain pesawat. Apa kita tunggu saja.”
“Boleh”
Beberapa menit kemudian…
“Itu dia! Siddiq! Disini!” Fikri berteriak.
“Fikri!” Ahmad berlari
menuju Fikri “Loh, ada Ahmad dan seorang lagi, cewekmu Fik?”
“Hahaha bukan, Ahmad punya
nih”
“Widih… asyik. Ada yang baru
nih.”
“Bisa saja kalian. Ayo
kerumahku dulu. Mampir”
“Nggak usah deh Mad, aku mau
persiapan presentasi nanti malam” Jawab Fikri
“Wah.. sorry nih Mad, ayah
udah nelpon dari tadi, Kangen” Siddiq mengikuti.
“Yah, sayang dong.”
“Gimana kalau kita ketemu di
pesta pernikahan Ayu aja.” Usul Siddiq
“Setuju!” Fikri dan Ahmad
mengiyakan.
Detik-Detik Pesta Pernikahan
“Sudah jam 8 nih, 30 menit lagi acara dimulai. Ahmad sama
Rose belum juga datang” Gusar Fikri
“Telepon aja Fik.
“Mad, dimana nih? Kita udah
nunggu 10 menit lebih, Orang tua ayu juga udah dateng jadi acara mau dimulai
bentar lagi. ”
“Sorry fik, lagi ada
gangguan nih, kamu tau sendiri kan jakarta kayak gimana, 5 menit lagi insyaallah
aku sampai”
“Oke-oke buruan ya, jangan
lupa sama gandenganmu!”
“Sudah fik, tunggu aja”
Tepat 1 menit sebelum acara
pesta pernikaan dumulai Ahmad bersama Rose pun datang, Di tengah ruangan Ayu
dan Chairil telah menunggu, Sekilas pandangan dengan arti kenangan itu terusik
kembali pada saat mata Ahmad dan Ayu berada pada satu garis lurus. Tapi tak ada
kata lagi yang bisa terucap, kenangan itu telah dikubur dalam hati
masing-masing. Hanya tersisa kata.
“Selamat kacamata mungil,
semoga kau selalu bahagia”
“Selamat juga Ahmad, kau
tetap sahabatku”
Tamat.